A.
Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu
Penyebutan
Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut
dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna,
tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan
Minang.
Tentang
asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat
dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang.
Dari
hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga
turunan yaitu:
1.
.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah
Kabupaten Batanghari.
2.
Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian
Mersam (Batanghari).
3.
Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten
Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Menurut
Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai
orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama.
mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan
barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan
mengambil dan menukarnya.
Senada
dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra)
menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli
Sumatera.
Demikian
pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua)
yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
B.
Karakteristik dan Kultur Suku Kubu
Ciri-ciri fisik dan
non fisik
Suku
anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama
dari manusia proto melayu. kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak
kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri
fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan
berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil
nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang
disisir dan hanya dibasahi saja.
Budaya Melangun
Pada
masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh
anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota
keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Seloko dan Mantera
Kehidupan
Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah
diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum
oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan.
Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam
kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1. Bak emas dengan suasa
.
2. Mengaji di atas surat
3. Banyak daun tempat
berteduh
4. Titian galling
tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Besale
kata
besale dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon
kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara
bahaya.
Kepercayaan
Komunitas
adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap
dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka mempercayai adanya dewa
yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya.
Pengelolaan Sumberdaya
Alam
Orang
Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan. Hutan, yang
bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup,
beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat
yang berlaku bagi mereka.
Orang
Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba,
ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi
penggunaan sumber daya hutan dari rimba menjadi lading dan kemudian menjadi
sesap.
C.
Sistem Kekerabatan
Sistem
kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan
budaya Minangkabau.Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami
dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan
orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia.
Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba.
Kebudayaan
orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin
utama dalam struktur kelompok.
D.
Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu
Masyarakat
Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, Mereka bebas untuk tinggal bersama
dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti
kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya
Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku
Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung,
Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil
Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Menti,
Menyidang orang secara adat/hakim
Kepemimpinan
Anak Dalam tidak bersifat mutlak, mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan
Tumenggung disetujui seluruh anggota. Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok
yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an.
E.
Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Mereka
sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari.
Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian
yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan
binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
Pakaian
Meraka
pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk
menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu
terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa
sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka
meninggalkannya dan beralih dengan kain yang mereka beli di pasar melalui
masyarakat umum.
Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut
masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun
masih terbatas, tetapi
sudah
terjadi interaksi sosial dengan masyarakat sehingga keterbukaan terhadap
nilai-nilai budaya luar semakin tampak.
F.
Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu
Sebagai
orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat
teknologi .Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong
atau tergoda mempunyai harta benda. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun,
rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau
sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat menyimpan, untuk membawa barang
dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara
perkawinan.
Pada
umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke
dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar
mereka tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima
dengan baik.
G.
Kesehatan masyarakat Rimba Jambi
Orang rimba atau sering disebut
suku Anak Dalam atau suku Kubu semakin lama semakin sulit mengakses sumber daya
hutan dan fasilitas kesehatan.
Dan lebih memprihatinkan lagi,
keberadaan mereka seperti tak dianggap. Buktinya, sangat jarang kesehatan
komunitas orang rimba menjadi perhatian. Padahal, tingkat kematian bayi dan ibu
melahirkan sangat tinggi. Karena tinggal di dalam hutan, penyakit lain pun
rentan dideritanya dan berpotensi menyebabkan kematian.
”Tingkat hidup orang rimba
rendah, kematian bayi dan ibu melahirkan sangat tinggi,” kata Rudi Syaf,
Program Manajer Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.
Data tentang tingginya kematian
bayi dan ibu memang tidak ada karena petugas dari dinas kesehatan setempat
jarang melakukan pengobatan dan pendataan. Namun, mencermati data populasi
mereka enam tahun terakhir, nyaris tidak ada pertambahan populasi yang berarti.
Penyakit yang sering diderita
orang rimba umumnya adalah TB paru, infeksi saluran pernapasan, infeksi kulit,
infeksi saluran pencernaan, cacingan, malaria, dan sakit gigi. Keluhan utama
mereka adalah sakit gigi (pulot), sakit perut (bocor), demam (domom), dan batuk
(betuk).
Salah satu sebab tingginya angka
kematian bayi dan ibu melahirkan karena untuk melahirkan lokoter tak bisa
melakukan intervensi.
Menurut mereka, Proses kelahiran masih dilakukan secara tradisional
melalui dukun beranak di komunitas orang rimba itu sendiri. Proses kelahiran
bagi orang rimba, menurut kepercayaannya, dianggap sebagai kesempatan mereka
didatangi dewa. Karena itu, tak boleh ada orang lain di luar komunitas orang
rimba ketika prosesi kelahiran terjadi.
Adapun untuk mengobati penyakit
orang rimba yang dilakukan KKI Warsi masih ada pembatasan-pembatasan yang tak
boleh dilanggar. Misalnya, tenaga medis (lokoter) laki-laki tidak boleh
mengobati dan menyentuh perempuan orang rimba. Tabu bagi perempuan orang rimba
diobati oleh lokoter laki-laki. Sebaliknya, laki-laki orang rimba tidak tabu
diobati lokoter perempuan.
Menurut Sukmareni, di tengah pola
hidup dan konsumsi orang rimba yang kurang baik serta pengobatan yang masih
tradisional, ada kalanya penyakit sulit hilang dari orang rimba. Mungkin ini
juga yang menyebabkan populasi orang rimba cenderung stabil dari waktu ke
waktu. Untuk ini tentu dibutuhkan pengobatan yang lebih memadai untuk
kasus-kasus tertentu yang tidak bisa ditangani di rimba, seperti TB paru dan
penyakit kronis lainnya.
H.
Pengobatan
Sementara
itu, pengobatan tradisional mereka melalui tanaman obat juga semakin susah
karena bahan baku sulit didapat.
Keharusan
dan kemampuan menguasai tradisi lisan juga menjadi syarat wajib bagi dukun yang
ditentukan oleh komunitas. Hal ini dikarenakan pada tradisi pengobatan Orang
Rimba, pembacaan mantera biasanya menyertai proses pembuatan bahan-bahan obat
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pada makalah ini dituliskan mantera
pengobatan penyakit asma yang dibacakan pada saat meramu dan merebus sejenis
akar-akaran untuk diminum penderita asma.
Pembacaan
mantra untuk pengobatan dapat dilakukan secara langsung yaitu dibacakan pada
saat pengobatan atau secara tidak langsung melalui upacara bebale. Ketentuan pembacaan mantera pengobatan ini menunjukkan
adanya mantra yang boleh diketahui oleh orang lain dan mantra yang tidak boleh
diketahui oleh orang lain.
Pada
dasarnya pengobatan yang dilakukan adalah untuk melindungi diri dari serangan
hewan buas ataupun untuk tujuan tertentu.
I.
Wilayah Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman
Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai
Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado.
Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada
di dekat permukiman mereka.
Cagar Biosfer, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau
kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and
Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1. Merupakan kawasan yang
mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah
mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2. Mempunyai komunitas
alam yang unik, langka dan indah.
3. .Merupakan landscape
atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas
alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi
melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993)..
Kawasan
Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak diantara lima kabupaten, yaitu kabupaten
sarolangun, merangin, bungo, tebo dan batang hari. Kawasan yang di diami orang
rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh batang tabir di
sebelah barat, batang tembesi.di kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terdapat
tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan.
Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah
bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir
sampai ke hulu.
Walaupun
mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi
keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air
minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak
sungai.
Wilayah
Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki
bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua
Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai
dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang
mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Delvinet. (2009).
“Makalah Suku Anak Dalam Jambi” [online]
Yurnaldi. (2009).
“Kesehatan Orang Rimba Terancam” [online]